Naik Haji – HAMKA (Haji Malik Karim Amrullah) kala itu menaiki kapal dari Kota Baru, yang bertolak dari Tanjung Priok pada tanggal 16 Agustus 1950, persis sekali satu hari sebelum Hari Proklamasi. Ia ditunjuk oleh Majelis Pimpinan Haji (MPH) sebagai pemimpin jamaah haji di kapal tersebut, saat itu jumlahnya ada sebanyak 970 orang. Adapun kapal yang lainnya yang berangkat sekitar massa yang sama, tapi dengan pemimpinnya masing-masing. Saat itu Hamka dibantu oleh Asa Safagih dan Ayah Hamid sebagai anggota pimpinan. Ketua Panitia Haji Sumatera kala itu adalah H Bustami Ibrahim, yang sudah lama dikenal olehnya sebagai salah seorang pemimpin cabang Muhammadiyah di Medan.

Naik Haji Pada Tahun 1950 Inilah Catatan Hamka

Pada tahun 1950 merupakan tahun kemerdekaan yang diakui di tengah-tengah bangsa di dunia. selain itu juga merupakan tahun pertama urusan haji dipegang oleh Pemerintah Republik Indonesia. “Tentu belum sempurna’ Tulis Hamka, akan tetapi tidak lagi bergantung kepada kebijakan pemerintah kolonial. Momen yang sangat istimewa ini disertai dengan kebanggan sudah berhasil berebut kemerdekaan, sudah memiliki martabat orang Rpublikan, mewarnai seluruh kisah selama dalam perjalanan ini. itu merupakan Catatan Hamka yang telah dirangkum dalam buku “Naik Haji di Masa Silam”, karya Henri Chambret-Loir.

Ketika pada saat merenungkan wukuf yang termasuk dalam proses saat naik haji, Hamka pun membahas berbagai tema yang lazim ditemukan dalam buku-buku lainnya seperti wukuf menyerupaki konggres Islam sedunia, pakaian ihram pakaian kebersamaan dengan kain kafan serta juga tema yang terbaru: bangsa-bangsa di dunia bersifat sementara dan tergantung keadaan: “Tidak ada kebangsaan! Kebangsaan itu hanya istilah dalam hidup, menunggu perhitungan zaman dan tempat.” Indonesia dulu terbagi atas sekian kerajaan, sekarang bersatu dalam sebuah negara, tetapi untuk berapa lama?” “Akankah tetap begitu?” Ini pernyataan yang sangat berani, apalagi di tahun 1950 silam.

Salah satu dari keputusan pemerintah RI untuk membatasi jumlah jamaah haji dikarenakan negara kekurangan devisa, sehingga keputusan ini dikecam Hamka. “Apa artinya harta benda dan kekeyaan nasional yang tertumpah ke luar, kalau sekiranya yang dicari ke sini itu adalah keteguhan jiwa? Yang menghisap kekayaan nasional bukanlah orang naik haji yang hanya sekali sekurangnya seumur hidup. Kekayaan nasional ialah kemewahan yang tidak ada faedahnya sama sekali, yang ditimbulkan menurut dasar ilmu teknologi, sehingga yang tidak perlu menjadi sangat perlu dan yang amat perlu sudah tidak diperlukan lagi.”

Renungan mengenai tentang hewan kurban juga terpengaruh oleh pengalaman yang masih segar dalam ingatan tentang berbagai kekerasan yang terjadi selama perang kemerdekaan. Setelah merenungkan nasib para manusia di dunia, di mana agama Islam membalas teori Marx dan Schopenhauer timbulah sebuah gagasan bahwa penyembelihan hewan kurban sangat diperlukan agar manusia juga membiasakan diri dengan darah, sebab darah diperlukan oleh kemajuan. Kemerdekaan tidak akan tercapai kalau tidak ada darah yang tertumpah.

Saat itu Hamka bersikap sangat kritis terhadap pemerintah Arab Saudi. Kalau kita mengingat kembali sikapnya selama 23 tahun sebelumnya saat Hamka pertama berangkat haji pada tahun 1927, ketika ia pergi haji sebagai pemuda yang mengagumi pemerintah Ibu Saud yang baru menguasai Tanah Arab, kita patut bertanya mengapa tanggapannya begitu sangat berbeda. Ini barangkali disebabkan karena peristiwa di bidang politik atau keagamaan yang tidak disinggung disini.

Hamka melukiskan acara makan itu dengan ironi yang tajam pada kesempatan perjamuan di Istana 8 Dzulhijjah, sekaligus amat kritis terhadap pujian-pujian yang dialamatkan oleh beberapa pujangga kepada Raja Abdulaziz. Katanya itu, ini tidak sesuai dengan adat dan sejarah kita. Dalam tulisannya “Tanah kita tidak tanah fedolal”. Di bagian akhir buku kemudian ia kembali meninjau keadaan Arab Saudi yang mendadak kaya karena minyak, akan tetapi kekayaan yang digunakan oleh golongan pemimpin hanya untuk kesenangan diri, sedangkan rakyatnya itu dibiarkan melarat. 

Saat berada di atas kapal, Hamka mengaku sedang menghadapi banyak masalah di tingkat pendidihan para jamaah yang umumnya rendah. Kebanyakan jamaah ialah orang dusun yang tidak memiliki kesadaran kesehatan dan tidak mengindahkan segala aturan apapun. Kalau pun saat itu dipasang rambu, tidak dibaca. Kalau pun dibaca, tidak mengerti. Ada yang membuang air sembarang, ada juga yang merokok di palka, ada laki-laki mandi telanjang di dalam kamar mandi wanita. Pokonya mereka tidak mengenal disiplin, hanya tunduk kepada perintah dan kekuasaan.

Hamka terus mengamati semua yang ada dihadapannya dengan kepolosan sementara jamaah haji yang naif dan mudah ditipu serta tidak mampu membedakan antara takhayul dan akidah. Pengamatan yang seperti itu biasanya disertai dengan rasa kasihan bila kepolosan mereka dimanfaatkan orang lain, tetapi kesimpulan Hamka lebih jauh, pada intinya mereka itu sebenarnya tidak memenuhi syarat-syarat haji “Kalau diperiksa benar hikmat haji, sudah jelas sekali bahwa sebagian besar belum wajib haji.”

Di masa itu, kondisi di wilayah Arafah, Mina dan Muzdalifah ketika sudah masuk puncak haji telah terjadi kemacetan yang parah. Antara Muzdalifah dan Mina dengan jarak tiga kilometer saat itu tidak memerlukan satu jam perjalanan. baca juga jadwal umroh >> jadwal umroh akhir ramadhan >> jadwal umroh akhir ramadhan 2018