Hukum Ihram - Ihram merupakan suatu keadaan pada seseorang yang telah berniat untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah. Para ulama telah sepakat menyatakan berdasarkan dari sekian hadits Rasulullah SAW bahwa seseorang yang bermaksud untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah haruslah berihram di Miqat Makani. Dimana Miqat Makani itu adalah tempat untuk dimulainya ritual haji dan umrah yang telah ditetapkan dalam syariat. Rasulullah SAW telah menetapkan Miqat Makani bila yang bersangkutan melampaui batas Miqat Makani tanpa berihram, makan dinilai berdosa. Seseorang tersebut wajib kembali ke Miqat dan berihram dari sana. Hal ini dapat dilakukan apabila tidak ada aral merintang, seperti khawatir di jalan, tertinggal teman atau sempitnya waktu. Bila dia tidak kembali lagi, makan akan terkena dam.
Para ulama menyatakan bahwa hukum ihram dalam pesawat itu adalah akhlak baik (sunnah) untuk melakukan ihram di Miqat, sebagaimana pengalaman dari Nabi SAW dan makruh untuk melakukannya sebelum Miqat. Jadi, boleh-boleh saja untuk mengenakkan pakaian ihram dimana pun dan dari mana pun, sebab seseorang baru akan dinilai berihram saat dia telah berniat melakukan ibadah haji atau umrah.
Adapun sebagian ulama yang berpendapat mengenai hukum ihram dalam pesawat bahwa tempat-tempat yang telah ditetapkan Rasulullah SAW sebagai Miqat Makani haruslah diindahkan oleh siapa saja, baik itu yang berada di darat, udara maupun lautan. Siapa pun yang bermaksud untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah, maka dia harus berihram pada saat beberapa sebelum melampaui batas Miqat itu meski ia sedang berada di udara (pesawat).
Dalam fatwa Hai’at Kibar al-Ulama atau Majma’ al-Fiqh al-Islami Saudi Arabia dinyatakan bahwa tidak dibenarkan bila seseorang yang memiliki niat melaksanakan haji atau umrah untuk berihram setelah mereka tiba di Jeddah. Hal ini disebabkan Rasulullah SAW telah menetapkan tempat-tempat tertentu, sedangkan untuk di Jeddah tidak termasuk salah satu di antaranya. Oleh sebab itu, dalam fatwa lembaga tersebut dinyatakan bahwa bagi mereka yang tidak membawa pakaian ihram, diwajibkan untuk memakai celana atau pakaian yang dikenakannya sambil menanggalkan kopiahnya. Jika sorban atau sarung pun tidak juga dimiliki. Setelah tiba di Jeddah, dia menggantinya dengan pakaian ihram.
Sedangkan pada sebagian ulama kontemporer berpendapat lain, Miqat Makani menurutnya adalah tempat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW yang berfungsi sebagai stasiun di mana seseorang harus mempersiapkan diri secara mantap untuk dapat melakukan kegiatan haji dan umrah. Nah, di stasiun itulah antara lain dia dapat untuk membersihkan diri, mandi dan shalat sunnah dua raka’at.
Jadi, keberadaan diri saat masih di udara itu tidak memungkinkan terlaksananya hal-hal diatas. Sudah cukup banyak ulama yang berpendapat bahwa Jeddah itu dapat menjadi Miqat Makani. Misalnya saja dari Ketua Mahkamah Syariah Qathar, mendukung pendapat itu. menurut pendapat yang telah dikemukakan oleh Syeikh Ali Muhammad al-Hindi agar penumpang pesawat berihram saja dengan mengenakkan pakaian biasa yag dikenakannya. Lalu, pada saat mendarat menggantinya dengan menggunakan pakaian ihram sambil membayar dam atas penyelenggaraannya tersebut.
Anggota dari lembaga Ha’iat Kibar al-Ulama yakni Syaikh Musthaffa az-Zarqa tidak sependapat dengan fatwa yang telah dikeluarkan oleh lembaga tersebut. di dalam buku yang ditulisnya bahwa, “Sudah jelas dari hadits-hadits yang berbicara mengenai tentang Miqat Makani bahwa tempat-tempat yang disebutkan atau siapa saja yang melaluinya saja marra ‘alaihi. Dengan demikian yang tiba secara sejajar dengan arah tersebut tanpa dengan melaluinya bukanlah suatu ketetapan yang bedasarkan nash, akan tetapi berdasarkan ijtihad.”
Syaikh Musthafa az-Zarqa memiliki pendapat bahwa calon jamaah haji dan umrah yang tekah berkunjung dengan menggunakan pesawat udara tidaklah terasuk kelompok yang berkunjung dengan menggunakan pesawat udara tidaklah termasuk dalam kelompok yang penentuan Miqat Makani nya dicakup oleh hadits-hadits Rasulullah SAW. Hal ini tidak ditetapkan sebab itu perjalanan dengan melalui udara belum tergambarkan dalam benak siapa pun, sebagaimana beliau juga tidak menetapkan Miqat Makani bagi jamaah yang datang dari arah barat. Jika Rasullah tidak melakukan penetapannya, maka persoalan itu akan dikembalikan kepada ijtihad para ulama.
Singkatnya menurut az-Zarqa mengusulkan agar jemaah haji atau umrah mengenakan pakaian ihram mereka dari rumah tidaklah sangat realistis. “Lalu, bagaimakah dengan keadaaan penduduk negeri dingin yang terkadang suhu udaranya itu mencapai minus lima derajat celcius? apakah dengan ini tidak memberatkan bagi mereka?”
Kemudian ia pun berkata, “Bagaimana jadinya jika fatwa yang sangat mengharuskan dalam pemakaian pakaian ihram di dalam pesawat, jika suatu ketika pesawatnya itu hanya dapat menempuh beberapa menit untuk seseorang dapat untuk mengganti pakaiannya?” persoalan dalam mengenakkan pakaian ihram pada saat berada di pesawat adalah masalah khilafiah. Pada sisi lain, rasa sulit atau berat dan tidak dapat melaksanakannya, baik itu di rumah maupun di pesawat merupakan suatu hal yang sangat relatif. Ia boleh jadi berat bagi si A akan tetapi tidak bagi si B, oleh sebab itu mengenai persoalan ini dipulangkan kepada masing-masing jamaah. lihat juga >> umroh ramadhan | umroh ramadhan 2021
0 Comments
Posting Komentar