Hukum Arisan Haji – Bagi setiap umat Muslim yang mampu, wajib hukumnya bagi mereka untuk melaksanakan ibadah tersebut. Maka siapa saja yang ingin berhaji hendaklah mempersiapkan segalanya, baik secara material maupun spiritual. Kita sebagai umat Islam pastinya mengetahui bahwa ibadah ini merupakan rukun Islam yang kelima bagi orang yang telah mampu untuk melaksanakannya. Mampu atau istita’ah adalah salah satu syarat dalam melaksanakan ibadah haji. Maka dari itu kata mampu inilah yang tetap saja menjadi permasalahan yang selalu diperdebatkan di tengah masyarakat. Selain itu juga, saat biaya haji menjadi suatu permasalahan utama bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah sebab Ongkos Naik Haji (ONH) yang dari tahun ke tahunnya itu bertambah mahal. Oleh sebab itu, di tengah masyarakat muncullah sebuah sistem, yakni Arisan Haji.    

Hukum Arisan Haji Menurut Pandangan Islam

Pada umumnya kita hanya mengetahui arisan ibu-ibu saja. Dengan motifnya yang hanya ingin mengumpulkan uang demi membeli sesuatu hingga hanya ajang kumpul-kumpul dan bersosialisasi saja dengan keluarga, teman, maupun tetangga. Sekarang ini, Arisan Haji kini menjadi pembicaraan pro dan kontra terhadap keabsahannya. Bagi masyarakat yang melakukan hal itu mungkin kebanyakan menilai tidak adanya masalah sebab tidak adanya dalil yang melarang akan hal itu. Sehingga, tidak adanya hukum arisan haji dalam Islam.

Arisan kini sudah menyasar ke orang-orang yang ingin sekali naik haji. Pada sistem arisan haji ini memunginkan setiap orang bisa memberangkatkan anggotanya baik haji dengan uang hasil arisan tersebut sehingga semua anggotanya dapat berangkat naik haji. Lalu bagaimana sih hukum arisan haji yang sebenarnya?

Berangkat haji dari uang arisan pun menjadi perbincangan di kalangan para ulama. Pada dasarnya, arisan itu masuk dalam kategori muamalah. Memang arisan tidak disinggung langsung dalam Al-qur’an dan sunnah. Sesuai dengan hukum asal muamalah maka dari itu hukum arisan boleh atau mubah.

Kalau menurut pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah memandang, apabila arisan dilaksanakan sedikit orang yang memiliki penghasilan tertentu dan jaminan yang sangat kokoh untuk dapat menyelesaikan kewajibannya maka dalam hal tersebut tidak masalah. Lain halnya dengan arisan yang dilakukan oleh banyak orang, misalnya jumlah anggota arisan sebanyak 50 orang dengan membayar iuran yang jumlahnya hanya tertentu saja. Hal seperti itu sangat mengakhawatirkan sekali, sebab jumlah jamaah yang banyak justru akan lebih lama lagi dalam memberangkatkan semua anggota arisan.

Dalam Forum Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama pada beberapa tahun lalu memberi fatwa mengenai tentang iuran arisan haji yang berubah-ubah. Pada awal arisan meruapakan sebuah sistem yang diperbolehkan. Sementara itu, jika iuran arisan haji berubah sesuai dengan perubahan BPIH setiap tahun maka terjadi beberapa perbedaan dalam hal ini. Namun, ulama NU memberikan ketegasan bahwa haji orang tersebut tetap sah.

Sedangkan, menurut dari Ali al-Syibramalisyi di dalam kitab Nihayatul Muhtaj Jus II disebutkan pinjaman syar’i adalah memberikan hak milik dengan mengembalikan penggantinya. Dengan syarat pengembaliannya itu harus serupa dengan barang yang dipinjamnya atau dengan bentuk barang yang dinilainya juga memilki nilai yang sama.

Pada intinya bahwa setiap anggota arisan itu harus memiliki kemampuan dalam membayar atau mengembalikan pinjaman hasil arisan ketika sudah melaksanakan ibadah haji. Haji merupakan ibadah bagi yang mampu sehingga tidak perlu dipaksakan, apalagi sampai meninggalkan hutang serta menelantarkan kebutuhan keluarga.