Etika Haji dan Umrah – Pada saat melaksanakan ibadah haji maupun umrah, kita itu wajib menyadari bahwa kehadiran Allah SWT dan bertindak secara tepat, serta mengarahkan agar kita dapat berpikir, merasakan dan berniat dengan baik dan benar, yakni sikap batiniah kita jug aharus sesuai dengan aktivitas lahiriah. Dengan kata lain, seharusnya kita itu dapat kontradiksi antara apa yang sedang kita pikirkan dengan apa yang kita lakukan. Dalam pribadi kita juga harus diharmonisasikan, diseimbangkan dan ditotalitaskan satu sama lainnya tanpa harus ada kecenderungan dan hasrat yang menarik kearah hal lain. Dimana harmoni disini dapat kita katakan sebagai suatu keikhlasan yang tumbuh dalam diri, yang juga sebagai ketulusan atau bermakna seimbang antara yang di dalam dan di luar.

Etika Haji dan Umrah di Tanah Suci

IKHLAS
Ikhlas dalam melaksanakan ibadah haji maupun umrah berarti dalam melakukan manasik haji maupun umrah pun harus karena Allah SWT, bukan karena hal lainnya, seperti melakukan manasik agar dapat diakui dengan panggilan Pak Haji atau Bu Haja maupun sebaliknya, agar mendapatkan kemuliaan dan memperoleh keuntungan dari manusia. Maka dari itu, ibadah haji atau umrah yang dilaksanakan dengan rasa ikhlas merupakan salah satu etika haji dan umrah.

Barangsiapa yang mengaku melaksanakan ibadah haji atau umrah semata-mata hanya karena Allah SWT tanpa mengharapkan balasan, sanjungan, pujian maupun ucapan terima kasih dari sipa pun. Tentu saja, ia tidak akan merasa sedih dan tidak peduli manakala orang-orang sekitar menganggapnya belum melaksanakan ibadah haji maupun umrah. Etika haji dan umrah sangatlah diperlukan dalam ibadah agar kita dapat membatasi diri dalam bersikap, artinya bersikap yang baik dan benar. 

Akan tetapi, jika ia tidak senang pada saat ia tidak dipanggil dengan sebutan Pak Haji atau Bu Haja maupun sebaliknya maka pengakuannya itu adalah dusta. Sebab, seseorang yang melaksanakan ibadah haji maupun umrah semata-mata hanya karena Allah SWT tentu memahami, meski ia tidak dianggap melakukan haji dan umrah, pahala amalnya tidak akan berpindah dan berkurang ke orang lain, karenanya ia tetap merasa senang dan gembira dengan apa yang telah dilakukannya. Sedangkan, seseorang yang tidak melaksanakan ibadah haji atau umrah karena Allah SWT, ia akan benci jika nama baiknya itu tidak diakui.

CINTA
Hendaknya ibadah haji dan umrah yang dilakukan itu karena kecintaan kita kepada Allah SWT, bukan karena beragam imbalan yang ia tawarkan kepada kita. “Katakanlah: “Jika kalian benar-benar mancintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali Imran [3]:31).

Cinta merupakan sebuah anugerah tertinggi dari Allah, yakni saat Allah memeberikan kehendaknya seorang hamba mencintai-Nya, lalu ia pun mencintainya. Sebab, efek yang dihasilkan dari anugerah ini adalah iman, rahmat, kasih sayang, keindahan dan ampunan. Pada saat seseorang mendapatkan limpahan anugerah ini secara berjenjang dan periodik, maka ia akan memahami cara mencintai pada utusan-Nya, orang tua, keluarga, saudara, kerabat, tetangga, teman maupun musuhnya dan bahkan alam semesta.

MEMBUANG AMBISI
Apabila kita melaksanakan ibadah haji maupun umrah, namun di dalam hati kita ini sudah terpendam beragam keinginan setelah pulang dari haji maupun umrah, maka kemungkinan besar kita akan melmpiaskan seluruh keinginan yang ada setelah pulang dari Tanah suci. bila demikian seperti itu, ibadah haji dan umrah yang kita lakukan hanyalah bentuk kepalsuan ritual hanya untuk menutupi segala ambisi nafsu kita sendiri.

Sebab, pada prinsip dasarnya itu adalah haji dan umrah untuk menguji kesabaran dan ketabahan seseorang, yakni melatih kita saat berisah dari keluarga, masyarakat, kedudukan, jabatan, serta harta benda yang dimiliki. Namun, sangat disayangkan prinsip tersebut diabaikan begitu saja dan justru sebaliknya, haji dan umrah hanya dijadikan untuk meraih kedudukan, jabatan ataupun kehormatan duniawi semata.

Terkadang, kita lupa bahwa dunia dan seluruh isinya, sedikit maupun banyak, manis maupun pahit, awal maupun akhir adalah ujian dan cobaan yang diberikan oleh Allah SWT bagi kita. Ujian itu, tidak hanya berupa sakit, penderitaan dan keburukan lainnya. hal-hal yang dapat menguntungkan dan menyenangkan juga merupakan dari ujian, begitupun dengan ibadah haji dan umrah. Jika karena itu semua kita menjadi lupa adanya Allah SWT, baik dalam keadaan menderita maupun diberi kenikmatan, tetap saja gagal dalam ujian tersebut. Allah SWT memberikan ujian kepada kita untuk dapat mengungkap siapa di antara hamba-Nya yang beriman dan melaksanakan segala amal ibadah yang bermanfaat dan siapa yang kafir serta mengerjakan keburukan.

TAWAKAL
Tawakal atau berserah diri merupakan kepasrahan diri kita atas segala yang telah ditetapkan oleh Allah SWT setelah berusaha, dalam hal ini setelah kita telah berupaya dalam kelancaran mempersiapkan diri untuk menerima segala apa pun yang diberikan Allah SWT kepada kita, dan kita menganggap bahwa hal yang diberikan itulah yang terbaik bagi kita, sebab apa yang diberikan Allah SWT berbeda dengan apa yang sebelumnya kita inginkan.

SABAR DAN SYUKUR
Rukun iman yang keenam dalah takdir baik dan buruk, yang sudah seharusnya kita itu mengakui bahwa Allah SWT mengetahui apa yang kita lakukan , bahkan meskipun hasrat dan keinginan diri ini senantiasa tersembunyi. Seharusnya kita itu bersyukur atas segala nikmat dan anugerah yang diberikan Allah SWT. 

Apabila kita selalu bersyukur atas segala pemberian Allah SWT, maka Allah akan menambahkan apa saja yang diinginkan kita. Dengan demikian, rasa syukur akan terus bertambah. Jika saja kita itu sadar bahwa ujian gagal melaksanakan haji dan umrah itu dari Allah, lantas menganggapnya sebagai karunia yang diberikan dari Allah SWT tanpa harus menyekutukan-Nya, berarti kita telah mensyukuri segala apapun yang terjadi.

Akhir kata, apabila kita belum menjadi orang yang pandai bersyukur atas setiap pemberian Allah SWT hadirkan, paling tidak bersyukulah bahwa kita itu masih dapat menikmati segalanya. Jika kita itu belum bisa untuk bersyukur saat menikmati pemberian-Nya. Paling tidak, bersyukurlah dengan tidak menyia-nyiakan atau tidak mencela dan menghina atas pemberian-Nya begitu saja.